Sumber (1): http://marissahaque.kompasiana.com
Sumber (2): http://ikangfawzi.blogdetik.com/2009/04/21/tulisan-marissa-haque-untuk-ibu-saya-muliawati/
OPINI | 21 April 2009 |Hari ini adalah Hari Kartini Indonesia yaitu tanggal 21 April 2009. Ditanggal yang sama - bila masih hidup - hari ini juga merupakan hari ulang tahun ibu mertuaku tercinta (Ratu) Setia Nurul Muliawati binti Tb. Mu’min asal Lebak, Banten. Ibu mertuaku yang biasa dipanggil dengan sebutan sayang Ibu Yuya sangat dekat secara emosional dengan saya, sekeluarga kami semua menganggap beliau sebagai Kartini Indonesia dari Lebak, Banten. Sebagai menantu-mertua hubungan kami disaat lalu adalah saling menyayangi serta memberikan perhatian penuh satu dengan lainnya. Sebuah foto eksklusif kami di atas ini, diambil tak lama setelah saat lamaran kedua orang tua Ikang kepada kedua orang tuaku disuatu masa tahun 1986. Sebelum Ibu Yuya terkena stroke dan tak lama kemudian meninggal dunia (sebelum kami melangsungkan pernikahan).
Ibu Yuya adalah mantan Ibu Duta Besar Republik Indonesia yang sejak muda mendampingi sang suami Fawzi Abdulrani bertugas sebagai seorang diplomat muda muda Deplu (Departemen Luar Negeri) di beberapa penempatan diluar negeri semisal penempatan di Cairo-Mesir, Brussels-Belgium, Tokyo-Jepang, Kuala Lumpur-Malaysia, dan Karachi-Pakistan. Sebagai seorang istri diplomat karir, Ibu Yuya sangat fasih berbahasa asing semisal Inggris, Perancis, dan sedikit Jepang. Saya senang mendengarnya disaat ada kesempatan kemarin dulu itu beliau bercerita tentang segala sesuatunya yang terkait tugas kenegaraan mendampingi suami sebagai wakil Indonesia dibeberapa negara diluar negeri. Bagaimana tantangan membesarkan keempat anak balitanya dinegeri orang yang bersentuhan dengan aneka budaya yang sangat berbeda dengan yang seharusnya diberikan kepada keempat anaknya ditanah air.
Ibu Yuya yang berumah diwilayah Pasar Minggu, Jakarta Selatan adalah contoh hidup bagiku saat itu setelah Mama kandungku yang bertempat tinggal di Jalan Lapangan Roos, Tebet Utara, Jakarta Selatan. Kedua perempuan hebat yang sekarang telah almarhumah itu adalah spirit Kartini-kartini nyata bagi kehidupanku hari ini ditahun 2009.
Sebagai seorang perempuan asal Lebak, Banten Ibu Yuya tidak pernah lupa akan kampung halamannya. Almarhumah sering bercerita seperti apa situasi dan kondisi kampung halamannya disaat ditinggalkannya. Tidak terlalu menggembirakan situasi masyarakatnya. Kemiskinan dimana-mana. Kehidupan sinkretik juga dimana-mana – mereka ini adalah kelompok penganut faham kepercayaan namun ber KTP Islam. Ilmu sihir menjadi salah satu instrumen mencari nafkah yang banyak dipakai diarena perdukunan ranah Banten. Bahkan seorang Bung Karno diceritakan mempunyai seorang pintar didekat rumah Ibu Yuya yang dipercaya sebagai pemberikan sepotong tongkat ‘sakti’ penakluk para wanita yang sekaligus juga dipercaya mampu memberikan kekuatan magis bagi kewibawaan Soekarno saat itu – tongkat tersebut adalah yang sering dikepit dan dibawa kemana-mana oleh Presiden pertama RI tersebut. Nah, ayahanda Ibu Yuya-pun yang bernama Tubagus Mu’min – kakek dari Ikang Fawzi — dipercaya memiliki ‘sejumlah kemampuan’ layaknya penduduk asli asal Lebak, Banten. Semisal ‘dongeng’ disaat rumah mereka diserbu KNIL (tentara Belanda) untuk dibunuh karena sebagai Residen pertama Banten dengan kedudukan di Batavia (Jakarta) ternyata sang Kakek Tubagus Mu’min tersebut mengatur juga logistik rakyat Banten untuk melawan Belanda.
Nah, ketika serdadu KNIL menggerebeg rumah Mbah disaat pulang kampung di Lebak, maka dihalaman depan rumahnya didaerah Leuwi kawung, Lebak, Banten para serdadu berhadapan dengan penampakan seekor maung bodas (macan putih) yang menghadang. Ketika sang maung ditembak ternyata tidak mengenai apapun juga. Lalu ketika rumah Mbah Mu’min diobrak-abrik serdadu Belanda tersebut untuk dibunuh didepan anak-anak dan istrinya, mereka tidak mampu melihat Mbah Mu’min yang sedang duduk diujung meja makannya dengan diam dan sedang berkomat-kamit membaca mantera tertentu. Sebelumnya, sebelum para serdadu tersebut masuk, Mbah Mu’min mengatakan kepada ke 14 anak-anaknya (dari 2 istri karena istri pertamanya meninggal dunia) agar tetap tenang duduk, makan seperti biasa, dan jangan sekali-kali menatap tempat duduknya diujung meja makan mereka. Itulah sejumput cerita kenangan yang pernah saya dengar dari bibir Ibu Yuya disaat saya ‘mengapel’ Ikang saat pulang shooting film “Biarkan Bulan Itu” arahan sutradara Arifin. C. Noer.
Saya tidak tahu persis kebenaran cerita tersebut diatas, namun ketika saya bersosialisasi dengan timses PKS dan beberpa kader PDI Perjuangan yang setia kepada saya saat itu di Banten – disaat Pilkada Banten 2006 lalu – saya meluangkan waktu untuk berziarah kemakam Mbah Mu’min didaerah Pemakaman Leuwi Kawung, Lebak, Banten tersebut. Daaaan… makam tersebut menjadi sejenis (musyrik tentunya) pemujaan masyarakat setempat, saya juga melihat diatas makam tersebut tumbuh pohon beringin yang sangat lebat, besar dan… spooky! Karena disaat saya disana kok… perasaan saya tidak nyaman dan bulu kuduk saya berdiri terus seakan mengajak saya agar cepat-cepat pulang saja.
Suamiku bernama asli kelahiran Ahmad Zulfikar Fawzi, namun dasarnya urang Sunda maka mendapat nama panggilan kesayangan Kang Ikang. Ikang sendiri saat kecil tidak terlalu merasa dekat dengan kakeknya. Kenapa? Karena Ikang seringkali dipanggil si Goreng Patut oleh Mbah Mu’min. Karena dari keempat anak-anak Ibu Yuya dan Dato’ Fawzi Abdulrani (orang Mandar/Bugis/Sulsel), Ikanglah yang paling hideung atau paling gelap kulitnya – persis warna kulit Ibu Yuya. Sementara Mbah Mu’min merupakan budak Banten yang berkulit terang seperti orang Cina. Ibu Yuya berparas dan berpostur seperti Ibu kandungnya – istri Mbah Mu’min pertama yang meninggal – yaitu agak seperti orang Arab berkulit sawo matang.Nah, Ikang katanya saat kecil sepulang bersama kedua orang tuanya dari Brussels-Belgia agak ‘gegar budaya.’ Sering mengejar cicak karena di Belgia katanya dinding apartemen Deplu di Brussels tidak ada cicak, memanjat dan sembunyi diatas pohon sawo dihalaman rumah kompleks Deplu di Jakarta. Lalu … ada yang unik, yaitu Ikang tidak bisa berbahasa Indonesia alias hanya mampu berbahasa Perancis dengan sang Kakek yang Urang Banten asli tersebut. Akhirnya karena si Mbah sering kesal, maka nama panggilan suamiku saat itu adalah Ikang si goreng patut (smile).
Namun ada masa dimana Mbah Mu’min mencari Ikang dan mendekapkan kepalanya didadanya. Yaitu beberapa saat sebelum meninggal dunia dengan sangat sulit – mungkin karena ‘aji pegangan’ beliau seperti kebanyakan layaknya urang Banten kolot – maka proses meninggal dunianya dulu itu disaksikan oleh anak dan istrinya sangat lama. Bahkan konon khabarnya membuat Mbah menjadi sangat menderita. Saat itu disaksikan banyak Mamang dan Bibinya Ikang diramalkan akan menjadi orang terkenal, banyak teman, dicintai kawan maupun lawan, dan… hehe… ini yang membuat saya agak ge-er yaitu akan mendapatkan seorang istri yang baik dan dikenal banyak orang. “Rasanya itu saya deh!”, begitu saya selalu bercanda dengan ipar-iparku disaat ngumpul bareng. Karena saya tahu mantan pacar Ikang disaat kuliah di FISIP-UI dulu juga seorang figur publik – Christine Panjaitan.
Saya mencintai Ikang Fawzi suamiku the one and only dengan sepenuh hati paket dengan segala kelebihan maupun kekurangannya – dan insya Allah sampai mati. Ikang memberi saya dua orang Kartini-kartini mungil calon pemimpin negeri ini. Ikang juga membiarkan saya menjadi aktual dan bangga terhadap diriku sendiri tanpa harus menjadi bayang-bayangnya.
Hari Kartini yang jatuh pas saat hari kelahiran Ibu Kartini berkesan ganda bagi keluarga kami, karena Ibu Yuya juga lahir ditanggal yang sama R. A. Kartini dilahirkan. Seorang perempuan mengabdi pada keluarga, menyukai ilmu bahasa, pandai memasak, dan merawat anak-anaknya menjadi generasi yang siap menjawab tantangan zaman itulah Ibu Yuya ibu mertuaku almarhumah tercinta.
Terimakasih Ibu Yuya tercinta atas kesediaan Ibu menjadi Ibu mertua teladanku seumur hidup. Akan kujaga Ikang Fawzi anak kesayanganmu beserta kedua orang cucu perempuanmu yang lahir melalui rahimku.
Doa kami pagi ini pada hari ulang tahunmu tanggal 21 April 2009 ini.
Ibu Yuya kami tercinta… dirimu telah pergi, namun spirit kekartinianmu terus melekat dihati kami semua para anak-mantumu selamanya.
Sampai tiba saat kami menyusulmu kelak…
I love you forever… Allahu Akbar!
(Photo: KBRI di Brussels, Belgia)
***